Proses Rumusan Pancasila dan Nilai Juang di Dalamnya. Materi penjelasan bagaimana proses perumusan Pancasila dilaksanakan dan apa saja nilai-nilai juang yang terkandung dalam perumusan Pancasila itu sendiri. Mungkin saja ada kalian pengunjung setia website ILMUPELAJARAN.COM yang membutuhkan materi ini.
Jika dilihat lebih detail, kita akan dapat menemukan lima lambang sila pancasila pada perisai burung garuda pancasila yang gagah perkasa. Untuk sila pertama, disana dilambangkan dengan gambar bintang, pada sila kedua digambarkan dengan menggunakan gambar rantai emas. Lalu ada gambar pohon beringin yang digunakan untuk melambangkan sila ketiga. Untuk sila keempat kita dapat menemukan lambang kepala banteng, dan gambar padi kapas pada untuk menggambarkan sila ke lima.
Nah, pada materi pelajaran PKN kali ini akan kita bahas mengenai proses perumusan pancasila dan nilai juang yang terkandung di dalamnya. Berikut penjelasan lengkapnya. Simak baik-baik ya!
Proses Perumusan Pancasila
BPUPKI dibentuk oleh pemerintah Jepang pada tanggal 29 April 1945 dengan tujuan untuk merencanakan penyelidikan usaha persiapan kemerdekaan Indonesia. Istilah lainnya adalah disebut sebagai Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai.
Sidang yang dilakukan oleh BPUPKI untuk melaksanakan hal ini hanya dua kali saja, yaitu Sidang I pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945 dan Sidang II dilaksanakan pada tanggal 10 Juli – 16 Juli 1945. Panitia yang dibentuk oleh BPUPKI untuk melaksanakan mandat kemerdekaan adalah sebagai berikut:
1. Panitia Perumus yang beranggotakan 9 orang yang disebut juga sebagai Panitia Sembilan yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Yaitu:
- Ir. Soekarno
- Drs. Mohammad Hatta
- Mr. A. A. Maramis
- Mr. Ahmad Subarjo
- Abdulkahar Muzakir
- Mr. Muhammad Yamin
- Abikusno Cokrosuyoso
- Haji Agus Salim
- K. H. A. Wachid Hasyim
2. Panitia Perancang Undang Undang Dasar pada saat itu diketuai oleh Ir. Soekarno.
3. Panitia Kecil Perancang Undang Undang Dasar yang diketuai oleh Prof. Mr. Dr. Soepomo.
4. Panitia Ekonomi dan Keuangan yang diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta.
5. Panitia Pembelaan Tanah Air yang diketuai oleh Abikusno Cokrosuyoso.
Panitia di atas ada yang telah menghasilkan hal-hal berikut ini ketika melaksanakan tugasnya:
Panitia Perumus
Mereka telah berhasil menyusun naskah dari Rancangan Pembukaan Undang Undang Dasar pada tanggal 22 Juni 1945. Rancangan Pembukaan UUD yang telah dibuat tadi, kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta yang mana Piagam Jakarta ini terdiri atas 4 alinea.
Panitia Perancang Undang Undang Dasar
Mereka telah menghasilkan suatu susunan yang berguna untuk rancangan UUD Indonesia pada tanggal 16 Juli 1945.
Setelah BPUPKI menyelesaikan tugas mereka, kemudian badan ini dibubarkan dan digantikan dengan badan yang baru yang bernama Dokoritsu Zyunbi Iinkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang disingkat dengan nama PPKI. Panitia kali ini dibentuk pada tanggal 9 Agustus 1945 dan diketuai oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta sebagai wakilnya.
Sidang PPKI dilaksanakan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan mereka menentukan keputusan sebagai berikut, yaitu:
- Menetapkan dan mengesahkan Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia pada alenia keempat
- Menetapkan dan mengesahkan UUD 1945
- Memilih ketua PPKI sebagai Presiden & wakil PPKI sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia
Isi dari rumusan Pancasila yang digunakan sebagai dasar negara, dapat kalian temui pada Pembukaan UUD 1945. UUD 1945 yang telah disahkan oleh PPKI tersebut terdiri atas dua bagian utama yaitu Pembukaan yang di dalamnya terdiri atas 4 alinea dan bagian Batang Tubuh UUD yang terdiri atas 37 pasal dimana terdapat aturan peralihan 3 pasal dan Aturan Tambahan, lalu 2 ayat dan Penjelasan.
BACA JUGA: PENGERTIAN DEMOKRASI LIBERAL, CIRI-CIRI DAN LATAR BELAKANG
Berbagai Rumusan Pancasila
Berikut ini adalah Rumusan-rumusan Pancasila, yakni rumusan pertama hingga sebelas.
Rumusan I: Ir. Soekarno
Selain Muh Yamin dan Soepomo, beberapa anggota BPUPKI juga menyampaikan usul dasar negara, di antaranya adalah Ir Sukarno. Usul ini disampaikan pada 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai hari lahir Pancasila.Namun masyarakat bangsa indonesia ada yang tidak setuju mengenai pancasila yaitu Ketuhanan, dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.Lalu diganti bunyinya menjadi Ketuhanan Yg Maha Esa. Usul Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan calon dasar negara yaitu lima prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip. Sukarno pula-lah yang mengemukakan dan menggunakan istilah “Pancasila” (secara harfiah berarti lima dasar) pada rumusannya ini atas saran seorang ahli bahasa (Muhammad Yamin) yang duduk di sebelah Sukarno. Oleh karena itu rumusan Soekarno di atas disebut dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila.
Rumusan Pancasila:
- Kebangsaan Indonesia (nasionalisme)
- Internasionalisme (peri-kemanusiaan)
- Mufakat (demokrasi)
- Kesejahteraan sosial
- Ketuhanan yang berkebudayaan
Rumusan Trisila:
- Sosio-nasionalisme
- Sosio-demokratis
- ke-Tuhanan
Rumusan Ekasila:
- Gotong-Royong
Rumusan II: Dr. Soepomo
Pada tanggal 31 Mei 1945, Soepomo pun menyampaikan rumusan dasar negaranya, namun rumusan ini tidak disertai penyebutan nama dasar negara, yaitu:
- Persatuan
- Kekeluargaan
- Keseimbangan lahir dan batin
- Musyawarah
- Keadilan rakyat
Rumusan III: Mr. Moh. Yamin
Pada sesi pertama persidangan BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei – 1 Juni 1945 beberapa anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan mengenai bahan-bahan konstitusi dan rancangan “blue print” Negara Republik Indonesia yang akan didirikan. Pada tanggal 29 Mei 1945 Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno BPUPKI baik dalam pidato maupun secara tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI.
Rumusan Pidato
Baik dalam kerangka uraian pidato maupun dalam presentasi lisan Moh. Yamin mengemukakan lima calon dasar negara yaitu:
- Peri Kebangsaan
- Peri Kemanusiaan
- Peri ke-Tuhanan
- Peri Kerakyatan
- Kesejahteraan Rakyat
Rumusan
Selain usulan lisan Moh Yamin tercatat menyampaikan usulan tertulis mengenai rancangan dasar negara. Usulan tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI oleh Moh Yamin berbeda dengan rumusan kata-kata dan sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara lisan,
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Kebangsaan Persatuan Indonesia
- Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
- Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Kontroversi Rumusan Moh. Yamin
Rumusan Moh. Yamin ini dianggap kontroversial karena menurut kesaksian lima pendiri bangsa Dr M Hatta, Mr Ahmad Subardjo, Mr AA Maramis, Prof Mr AG Pringgodigdo, dan Prof Mr Sunario.yang diberi tugas Presiden Suharto di tahun 1975 untuk merumuskan pengertian Pancasila menyatakan menolak kebenaran pidato Yamin pada 29 Mei dan sekaligus menyatakan bahwa Sukarno adalah satu-satunya orang yang mengemukakan usulan lima dasar tersebut.
Pada pertengahan 1950-an, Mohammad Yamin meminjam satu-satunya salinan risalah rapat BPUPK di tanah air (salinan lain yang disimpan A.G. Pringgodigdo ada di negeri Belanda) yang disimpan A.K. Pringgodigdo untuk kepentingan riset tentang perumusan UUD 1945. Dari dokumen ini Yamin menulis 3 jilid buku Naskah Persiapan UUD 1945, Buku Yamin ini menjadi sangat strategis karena Yamin tidak mengembalikan salinan notulensi yang ia pinjam dari A.K. Pringgodigdo. Sampai pertengahan 1990an, buku Yamin menjadi satu-satunya acuan. Dari sinilah muncul polemik Hari Lahir Pancasila. Nugroho Notosusanto, sejarawan pendiri Pusat Sejarah ABRI, menerbitkan buku Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik di tahun 1978. Dari tiga jilid buku Yamin itulah Nugroho menyusun argumentasinya. Ia membantah Sukarno sebagai penemu Pancasila. Argumentasi inilah yang dibantah para pendiri bangsa, dengan Muhammadh Hatta sebagai pembantah terkerasnya.
Pada tahun 2004, sejarawan AB Kusuma menuliskan buku setebal 671 halaman berjudul Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 yang di antaranya berusaha meluruskan kembali kontroversi ini.
Rumusan IV: Piagam Jakarta
Usulan-usulan blue print Negara Indonesia telah dikemukakan anggota-anggota BPUPKI pada sesi pertama yang berakhir tanggal 1 Juni 1945. Selama reses antara 2 Juni – 9 Juli 1945, 9 orang anggota BPUPKI ditunjuk sebagai panitia kecil yang bertugas untuk menampung dan menyelaraskan usul-usul anggota BPUPKI yang telah masuk. Pada 22 Juni 1945 panitia kecil tersebut mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI dalam rapat informal. Rapat tersebut memutuskan membentuk suatu panitia kecil berbeda (kemudian dikenal dengan sebutan “Panitia Sembilan”) yang bertugas untuk menyelaraskan mengenai hubungan Negara dan Agama.
Dalam menentukan hubungan negara dan agama anggota BPUPKI terbelah antara golongan Islam yang menghendaki bentuk teokrasi Islam dengan golongan Kebangsaan yang menghendaki bentuk negara sekuler di mana negara sama sekali tidak diperbolehkan bergerak di bidang agama. Persetujuan di antara dua golongan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan tercantum dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”. Dokumen ini pula yang disebut Piagam Jakarta (Jakarta Charter) oleh Mr. Muh Yamin. Adapun rumusan rancangan dasar negara terdapat di akhir paragraf keempat dari dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan kemerdekaan/proklamasi/declaration of independence). Rumusan ini merupakan rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para “Pendiri Bangsa”.
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Alternatif pembacaan
Alternatif pembacaan rumusan kalimat rancangan dasar negara pada Piagam Jakarta dimaksudkan untuk memperjelas persetujuan kedua golongan dalam BPUPKI sebagaimana terekam dalam dokumen itu dengan menjadikan anak kalimat terakhir dalam paragraf keempat tersebut menjadi sub-sub anak kalimat.
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan,
- [A] dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar[:]
- [A.1] kemanusiaan yang adil dan beradab,
- [A.2] persatuan Indonesia, dan
- [A.3] kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan[;]
serta
- [B] dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan populer
Versi populer rumusan rancangan Pancasila menurut Piagam Jakarta yang beredar di masyarakat adalah:
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan V: BPUPKI
Pada sesi kedua persidangan BPUPKI yang berlangsung pada 10-17 Juli 1945, dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (baca Piagam Jakarta) dibahas kembali secara resmi dalam rapat pleno tanggal 10 dan 14 Juli 1945. Dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” tersebut dipecah dan diperluas menjadi dua buah dokumen berbeda yaitu Declaration of Independence (berasal dari paragraf 1-3 yang diperluas menjadi 12 paragraf) dan Pembukaan (berasal dari paragraf 4 tanpa perluasan sedikitpun). Rumusan yang diterima oleh rapat pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 hanya sedikit berbeda dengan rumusan Piagam Jakarta yaitu dengan menghilangkan kata “serta” dalam sub anak kalimat terakhir. Rumusan rancangan dasar negara hasil sidang BPUPKI, yang merupakan rumusan resmi pertama, jarang dikenal oleh masyarakat luas.
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan VI: PPKI
Menyerahnya Kekaisaran Jepang yang mendadak dan diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diumumkan sendiri oleh Bangsa Indonesia (lebih awal dari kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan Darat XVI Jepang) menimbulkan situasi darurat yang harus segera diselesaikan. Sore hari tanggal 17 Agustus 1945, wakil-wakil dari Indonesia daerah Kaigun (Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan), di antaranya A. A. Maramis, Mr., menemui Sukarno menyatakan keberatan dengan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi bagian dasar negara. Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Sukarno segera menghubungi Hatta dan berdua menemui wakil-wakil golongan Islam. Semula, wakil golongan Islam, di antaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul penghapusan itu. Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” demi keutuhan Indonesia.
Pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945 usul penghilangan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikemukakan dalam rapat pleno PPKI. Selain itu dalam rapat pleno terdapat usulan untuk menghilangkan frasa “menurut dasar” dari Ki Bagus Hadikusumo. Rumusan dasar negara yang terdapat dalam paragraf keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar ini merupakan rumusan resmi kedua dan nantinya akan dipakai oleh bangsa Indonesia hingga kini. UUD inilah yang nantinya dikenal dengan UUD 1945.
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan VII: Konstitusi RIS
Pendudukan wilayah Indonesia oleh NICA menjadikan wilayah Republik Indonesia semakin kecil dan terdesak. Akhirnya pada akhir 1949 Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta (RI Yogyakarta) terpaksa menerima bentuk negara federal yang disodorkan pemerintah kolonial Belanda dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) dan hanya menjadi sebuah negara bagian saja. Walaupun UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 tetap berlaku bagi RI Yogyakarta, namun RIS sendiri mempunyai sebuah Konstitusi Federal (Konstitusi RIS) sebagai hasil permufakatan seluruh negara bagian dari RIS. Dalam Konstitusi RIS rumusan dasar negara terdapat dalam Mukaddimah (pembukaan) paragraf ketiga. Konstitusi RIS disetujui pada 14 Desember 1949 oleh enam belas negara bagian dan satuan kenegaraan yang tergabung dalam RIS.
Rumusan kalimat
“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
- perikemanusiaan,
- kebangsaan,
- kerakyatan
- dan keadilan sosial
Rumusan VIII: UUD Sementara
Segera setelah RIS berdiri, negara itu mulai menempuh jalan kehancuran. Hanya dalam hitungan bulan negara bagian RIS membubarkan diri dan bergabung dengan negara bagian RI Yogyakarta. Pada Mei 1950 hanya ada tiga negara bagian yang tetap eksis yaitu RI Yogyakarta, NIT, dan NST. Setelah melalui beberapa pertemuan yang intensif RI Yogyakarta dan RIS, sebagai kuasa dari NIT dan NST, menyetujui pembentukan negara kesatuan dan mengadakan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara. Perubahan tersebut dilakukan dengan menerbitkan UU RIS No 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (LN RIS Tahun 1950 No 56, TLN RIS No 37) yang disahkan tanggal 15 Agustus 1950. Rumusan dasar negara kesatuan ini terdapat dalam paragraf keempat dari Mukaddimah (pembukaan) UUD Sementara Tahun 1950.
Rumusan kalimat
“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, …”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
- perikemanusiaan,
- kebangsaan,
- kerakyatan
- dan keadilan sosial
Rumusan IX: UUD 1945
Kegagalan Konstituante untuk menyusun sebuah UUD yang akan menggantikan UUD Sementara yang disahkan 15 Agustus 1950 menimbulkan bahaya bagi keutuhan negara. Untuk itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Indonesia saat itu, Sukarno, mengambil langkah mengeluarkan Dekrit Kepala Negara yang salah satu isinya menetapkan berlakunya kembali UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 menjadi UUD Negara Indonesia menggantikan UUD Sementara. Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945 maka rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD kembali menjadi rumusan resmi yang digunakan.
Rumusan ini pula yang diterima oleh MPR, yang pernah menjadi lembaga tertinggi negara sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat antara tahun 1960-2004, dalam berbagai produk ketetapannya, di antaranya:
Tap MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, dan
Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan X: Versi Berbeda
Selain mengutip secara utuh rumusan dalam UUD 1945, MPR pernah membuat rumusan yang agak sedikit berbeda. Rumusan ini terdapat dalam lampiran Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.
- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Keadilan sosial.
Rumusan XI: Versi Populer
Rumusan terakhir yang akan dikemukakan adalah rumusan yang beredar dan diterima secara luas oleh masyarakat. Rumusan Pancasila versi populer inilah yang dikenal secara umum dan diajarkan secara luas di dunia pendidikan sebagai rumusan dasar negara. Rumusan ini pada dasarnya sama dengan rumusan dalam UUD 1945, hanya saja menghilangkan kata “dan” serta frasa “serta dengan mewujudkan suatu” pada sub anak kalimat terakhir.
Rumusan ini pula yang terdapat dalam lampiran Tap MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
Rumusan
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Nilai-nilai Juang pada Proses Perumusan Pancasila
Terdapat banyak nilai juang yang terkandung di dalam proses perumusan Pancasila itu sendiri. Yaitu:
Nilai Anti Penjajahan
Keinginan yang kuat bangsa Indonesia mewujudkan negara merdeka, menjadikan semua rumusan dasar negara selalu didasari oleh semangat anti penjajah. Dan menjadikannya secara langsung atau tidak langsung mengambil berbagai macam hal dalam peristiwa perumusan dasar negara Pancasila dengan berpatok pada nilai anti penjajahan.
Nilai Kemandirian
Kalian sudah pasti setuju, bahwa tujusn yang ada dibalik proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara adalah untuk mewujudkan cita-cita bersama bangsa Indonesia. Tujuan ini tidak lain adalah untuk menjadi bangsa dan negara yang merdeka dan dapat menentukan kebijakan dan masa depannya sendiri.
Nilai Inisiatif
Semua tokoh pahlawan yang berjuang untuk Indonesia dan para pendahulu kita, adalah termasuk yang tergabung dalam tim perumusan Pancasila adalah orang-orang yang berinisiatif tinggi. Inisiatif disini artinya pintar dalam memanfaatkan peluang untuk berani tampil, menjadi pelopor untuk berperan aktif menyampaikan segala gagasan, serta memilk pendapat dan pandangan yang berbeda.
Nilai Persatuan dan Kesatuan
Para tokoh yang menjadi perumus Pancasila, adalah wakil-wakil dari segala golongan dan lapisan masyarakat Indonesia kala itu. Ada yang berasal dari masyarakat bagian barat, tengah, maupun timur. Mereka semua kemudian bekerja sama saling bahu-membahu karena memiliki satu keinginan bersama, yakni terwujudnya Negara Indonesia yang merdeka.
Nilai Kerja Keras dan Pantang Menyerah
Negara kita adalah negara yang memiliki penduduk yang beraneka ragam suku, kebudayaan, daerah, dan agama. Maka tidak heran jika menyatukannya bukanlah pekerjaan yang ringan. Dasar prinsip dan kerja keras yang kuat untuk menjadi bangsa atau negara merdeka dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, akhirnya menjadikan berbagai perbedaan yang ada dalam masyarakat bangsa Indonesia pada saat itu bukan sebagai halangan.
Nilai Musyawarah
Jika untuk mewujudkan cita-cita yang besar, tentunya diperlukan adanya musyawarah. Kegiatan perumusan Pancasila mulai dari tahap yang pertama hingga ke tahap yang lain tentu saja mencerminkan nilai-nilai musyawarah. Karena segala keputusan yang diambil pada saat itu selalu dibicarakan dengan orang banyak melalui kegiatan persidangan.
Demikianlah materi pembahasan proses perumusan pancasila dan nilai juang yang terkandung di dalamnya. Jangan lupa pelajari juga berbagai materi lainnya, mulai dari negara penganut sistem demokrasi dan penyalahgunaan demokrasi; pengertian demokrasi, jenis, ciri-ciri, kelebihan dan kekurangan; serta pelaksanaan dan penerapan demokrasi dalam keluarga, sekolah & masyarakat.